SIRAH MAQOSIDANA
(Sambung Ruh Ulama Nusantara)
WALIULLAH NYAI TOWILAH
BAWEN KAB. SEMARANG

(Walilullah Perempuan Indonesia dalam jejak sejarah rohani Rabi'al Al Adawiyah)

Oleh : @ Sofyan Mohammad **

Perkebunan kopi Banaran Bawen Kabupaten Semarang  memiliki rekam jejak sejarah yang cukup panjang dan layak menjadi saksi bisu sebagai salah satu ikhwal yang terhubung pada dimulainya perang Jawa, meskipun diyakini kemudian jika yang menjadi embrio perang Jawa adalah sikap provokasi dan su'ul adab (tidak sopan dan tidak mengenal unggah ungguh) yang dilakukan oleh otoritas penjajah karena telah memasang patok untuk pembuatan jalan dengan menerobos dan membongkar makam leluhur sekaligus tanah milik Pangeran Diponegoro, dan dari serangkaian banyak sebab maka Pangeran Diponegoro menghimpun pasukan dari jaringan ulama santri untuk menggelorakan perlawanan terhadap VOC Belanda yang berpusat di Tegalrejo.

Perkebunan kopi Banaran terhubung menjadi salah satu diantara banyak sebab dimulainya perang Jawa adalah karena nama desa Banaran sudah teridentifikasi beberapa tahun sebelum tahun 1825 yaitu ketika ekspedisi militer Belanda memasuki pedalaman Jawa. Kemudian setelah Pangeran Diponegoro membentuk laskar pasukan yang terhimpun sekitar 300 - 400 orang dari jaringan Kyai  Santri dikisahkan telah berkumpul di desa Bangin (Bawen menurut perkiraan penulis) dan kemudian bertemu lagi di desa Banaran (Bataviasche courant, 14-12-1825).

Perang yang berlangsung selama 5 tahun (1825 - 1830) dicatat sebagai salah satu perang yang dramatis membuat otoritas penjajah menjadi kalang kabut dan hampir mendekati frustasi karena telah menjadikan VOC diambang kebangkrutan.

Jejeran batang batang pohon kopi di dikanan maupun kini sepanjang jalan pintu Tol Bawen sampai aliran sungai Tuntang yang berhulu di Rowo Pening telah menyimpan riwayat tentang kisah masa lalu yang mengharu biru dalam perjalanan seorang pejuang dari genuin sel jaringan ulama santri yaitu Kyai Abdul Somad, yang diceritakan beliau berasal dari wilayah Yogyakarta dan tergabung dalam laskar Pangeran Diponegoro. Untuk melemahkan kekuatan Belanda maka laskar bergerak secara organik menghimpun komunikasi dan koordinasi dari satu desa ke desa lainya dari satu kyai ke kyai lainnya, namun sekitar tahun 1828 sepak terjang Kyai Abdul Somad sudah terindentifikasi oleh Belanda karenanya beliau menjadi salah satu buronan serdadu Belanda yang diceritakan beliau bergerak menuju arah utara namun sampai diwilayah Magelang nyaris disergap oleh pasukan Belanda sehingga melanjutkan pelarian hingga sampai di wilayah Banyubiru Kabupaten Semarang dan sempat membuat rumah untuk bermukim disana namun baru beberapa saat tinggal, pada suatu malam disergap oleh serdadu Belanda dan berhasil membakar rumah tersebut namun beruntung Kyai Abdul Somad keluarga dan beberapa santrinya dapat berhasil kabur untuk melarikan diri.

Dalam pelariannya dari Banyu biru setelah menyusuri bibir danau rowo permai dan berhasil melewati kelebatan perkebunan kopi Banaran Bawen maka Kyai Abdul Somad beserta keluarga dan beberapa santrinya sampai dipinggiran perkebunan kopi yang rimbun diantara bibir sungai Tuntang yang sekarang masuk wilayah lingkungan Wonorejo Desa Bawen, Kec. Bawen, Kab. Semarang.

Diantara rerimbunan pohon kopi dan jejeran pohon lamtoro gung di sepanjang jalan dengan daun yang tidak meranggas, maka Kyai Abdul Somad memilih wilayah itu dan langsung dilakukan bubak alas untuk dijadikan tempat bermukim. Beliau tinggal disitu bersama istrinya yang bernama Nyai Siti Khoiriyah dan lima orang anak yaitu Nyai Hj. Maemunah (1874 -1921 meninggal di Mekah dan dimakamkan disana) Nyai Towilah (1888 - 1973 yang hingga akhir hayatnya tinggal di Wonorejo Desa Bawen Kab. Semarang, Nyai Ruminah (kelahiran 1891 terakhir tinggal dan dimakamkan di Komplek Makam Sunan Geseng, Tirto, Grabag, Magelang), Kyai Ahmad Toyib (Kelahiran 1891 terakhir tinggal dan dimakamkan di Dusun Karang Talun, Bandungan, Kab. Semarang) dan terakhir  Kyai Ahmad Badrat (kelahiran 1899 terakhir diketahui tinggal dan dimakamkan Wilayah Banyubiru).

Dikisahkan setelah berakhir perang Jawa yang ditandai dengan serangkaian insiden dramatis penangkapan Pangeran Diponegoro di Magelang oleh pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock pada 28 Maret 1830 M tepat pada hari ke dua Lebaran, tanggal 2 Syawal 1245 H, maka banyak anggota laskar Pangeran Diponegoro terus diburu oleh serdadu Belanda termasuk diantaranya tempat tinggal Kyai Somad telah diketahui oleh Opsir Belanda, sebelum dilakukan penyergapan  maka kemudian Kyai Abdul Somad dengan meninggalkan anak istrinya melarikan diri kerah timur menyeberangi sungai Tuntang hingga sampailah di Desa Tingkir untuk bergabung dengan para Kyai anggota laskar Pangeran Diponegoro termasuk diantaranya adalah Kyai Abdul Wahid kakek kandung Hadrotusyekh Hasyim Asy'ari atau kakek Buyut KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur - Presiden ke IV RI).

Di Desa Tingkir yang sekarang masuk wilayah Tingkir Lor, Kec. Tingkir, Kota Salatiga maka Kyai Abdul Somad tinggal hingga akhir hayatnya dan dimakamkan di komplek pemakaman Sanggrahan Tingkir Lor.

Dikisahkan dahulu Kyai Abdul Somad mendidik secara langsung putra putrinya dan menjelang remaja baru kemudian di titipkan untuk mendalami ilmu agama di beberapa pondok pesantren, demikian halnya dengan putrinya nomer dua yang bernama Towilah sejak kecil diasuh, didik dan di beri pejaran ilmu ilmu agama dan sejak kecil pula diajari untuk "prihatin" yaitu laku spiritual atau riyadloh.

Nyai Towilah yang lahir sekitar 1888 M dan setelah memasuki masa remaja maka kemudian diberi amanah oleh ayahandanya untuk menuntut ilmu sekaligus menjalani laku ujian di Pondok Pesantren yang semua santrinya adalah santri laki laki, karena ketawadlukan sekaligus semangat untuk memperoleh ilmu luhur maka Nyai Towilah dengan cara menyamar sebagai seorang laki laki kemudian nyantri di Pondok Pesantren asuhan Kyai Maksum di Wilayah Grabag, Kab. Magelang, selama tiga tahun lamanya tanpa diketahui oleh santri santri lainnya jika beliau adalah seorang perempuan, sehingga beliau mampu meneguk ilmu secara tuntas dari Kyai Maksum.

Diriwayatkan dengan ketajaman ilmu batin  yang dimiliki maka Kyai Maksum sebenarnya sejak awal mengetahui tentang status Nyai Towilah santrinya tersebut adalah seorang perempuan karenanya ada beberapa ritual ibadah dan metode pemberian ilmu dipisahkan dengan para santri lainnya, setelah dirasa cukup untuk kepentingan dakwah dan ilmu rohani, lebih jauh maka kemudian Nyai Towilah dinikahi oleh Kyai Maksum yang dari sini dalam beberapa hal dapat diperbandingkan dengan kisah Sufi yaitu Syech Hasan Al Basri dengan Sufi Perempuan legendaris Rabi'ah   Al Adawiyah.

Di ceritakan pernikahan antara Nyai Towilah dengan Kyai Maksum hanya seumur jagung diakhiri dengan perceraian tanpa menghasilkan anak kandung. Setelah bercerai maka kemudian Nyai Towilah pulang kembali ke Wonorejo Bawen untuk memulai dakwah disana hingga tidak berselang lama beliau dinikahi oleh Kyai Yasin dan memiliki seorang anak perempuan yang bernama Nyai Khayatun. Diceritakan pada saat posisi mengandung secara basharah (ghoib) beliau mendapatkan wejangan ilmu dari ayahandanya yaitu Kyai Abdul Somad yang sudah meninggal yaitu agar Nyai Towilah melakukan laku ilmu dengan cara memadamkan api yang sering berkobar membakar area pemakamannya di Sanggahan Tingkir Lor, Salatiga.

Pada saat posisi masih mengandung maka Nyai Towilah sering melakukan ziaroh dan laku spritual di komplek makam Sanggrahan Tingkir, hingga setelah anak dalam kandungan lahir yaitu Nyai Khayatun bayi dititipkan ke saudaranya di Wilayah Grabag, Magelang selanjutnya Nyai Towilah melanjutkan perjalanan spiritualnya menuntut ilmu luhur sekaligus menjalankan amanah ghoib dari ayahandanya.

Dikisahkan dahulu area makam Pasanggrahan Tingkir masih berupa semak belukar dengan daun daun tanaman yang mudah terbakar, karena ada amanah dari orang tuanya untuk memadamkan api yang sering membakar maka Nyai Towilah mulai melakukan ritual dimakam tersebut yang dari sana dimulailah kembali pengembaraan ilmu batin, yang konon diceritakan api yang membakar tersebut secara batin adalah berupa gulungan bola api ganas yang tidak mudah dijinakkan, seketika hendak dipadamkan maka bola api itu semakin menjauh begitu seterusnya namun Nyai Towilah pantang menyerah dan terus melakukan pengejaran terhadap bola api yang semakin menjauh dan semakin menjauh hal ini ternyata telah menuntun Nyai Towilah kerah timur menjelajah jauh dari satu puncak gunung satu ke puncak gunung lainnya yaitu di gunung Lawu (Magetan) gunung Kelud (Blitar) gunung Arjuno (Malang) gunung Bromo (Probolinggo) gunung Ijen (Situbondo) Gunung Agung (Bali) setelah itu bola api melayang kearah barat hingga di puncak gunung Merapi, gunung Merbabu, gunung Telomoyo, gunung Andong dan terakhir bola api tersebut dapat dijinakkan oleh Nyai Towilah di Puncak Gunung Ungaran Gedong Songo Bandungan Kabupaten Semarang.

Perjalanan spritual dengan isyaroh memadamkan bola api dari satu puncak gunung kepuncak gunung lainnya oleh Nyai Towilah dilakukan dalam dimensi ruang dan waktu spiritual yang juga dikisahan melibatkan wadah jasmaninya.

Setelah bola api takluk oleh Nyai Towilah maka dinukilkan jika komplek makam Kyai Abdul Somad di Sanggrahan, Tingkir Lor, Salatiga sudah tidak lagi dilanda kebakaran hingga saat ini.

Dalam perjalanan spiritual dan pengembaraan ilmu dari satu gunung ke gunung lainnya tersebut berlangsung hingga kurang lebih tiga tahun lamanya, syahdan dikisahkan Nyai Towilah telah dituntun oleh beberapa guru guru Waliullah dari tanah Jawa, sehingga Nyai Towilah memiliki bekal keilmuan baik ilmu dhohir maupun ilmu kasyaf yang mumpuni karena itu beliau kembali pulang ke Lingkungan Wonorejo, Bawen yang disini beliau secara berlahan lahan melakukan dakwah untuk mengamalkan ilmu yang dimiliki dengan cara memberikan pertolongan bagi siapapun yang membutuhkan.

Dikisahkan memasuki usia 60 tahunan Nyai Towilah secara total menjalani kehidupan zuhud (asketis) dengan cara berkolwat (uzlah) dengan membuat gubuk kecil bersebelahan dengan kolam dangkal namun berair jernih dipinggiran tanah bergaleng disudut Dusun Wonorejo, Desa Bawen, Kec. Kabupaten Semarang.

Nyai Towilah meninggal pada tahun 1973 pada usia sekitar 85 tahun yang kemudian dimakamkan di sekitar gubuk tempatnya beruzlah yang mana makam Waliullah Towilah pada saat tulisan ini dibuat telah dipugar sejak tahun 2012 oleh cucunya yaitu bapak Khaeroni alias Badawi yang secara tehnis tanpa satu hal yang pasti selalu melibatkan cucu buyutnya yang bernama Widodo alias Gus Sableng dengan bangunan pusara bercungkup dengan tutup aksen kelambu berwarna putih yang terletak tepat di belakang Bangunan Mushola yang sekarang dimanfaatkan untuk media dakwah oleh Gus Sableng dengan nama Majlis Jogowilah yang bermakna kurang lebih "Menjaga Waliullah Towilah".

Untuk memasuki area makam maka melalui jalan disebelah kiri mushola selanjutnya  akan melewati dahulu pusara makam dari Kyai Badawi berserta Nyai yang merupakan Dzuriyah Waliullah Towilah.

Kisah hidup Waliullah Towilah banyak dikisahkan oleh Gus Sableng yang merupakan cucu buyut Waliullah Towilah yang terlahir kembar dengan nama asli Widodo dengan nama saudara kembarnya bernama Wibowo, sebutan Gus Sableng disematkan pada dirinya karena dahulu sejak remaja hingga dewasa menyeruak dengan rekam jejak hidupnya yang di habiskan untuk segala kemaksiatan di terminal bis Bawen dan lokalisasi Gembol yang terletak tidak jauh dari terminal Bawen. Memasuki usia 43 tahun tepatnya pada tahun 2015 Gus Sableng mengalami kisah hidup tragis diluar nalar yang menjadi titik awal perjumpaannya dengan Waliullah Towilah dalam dimensi ruang dan waktu   ruhani yang telah membawa pada pengembaraan berbagai ilmu yang langsung dibimbing sendiri oleh Walilullah Towilah, namun demikian Gus Sableng juga bertutur jika dirinya juga dibimbing secara langsung melalui dimensi ruhani oleh beberapa Waliyullah dari tanah Jawa  yang secara dhohir telah meninggal dunia, sehingga Gus Sableng yang sama sekali tidak memiliki bekal keilmuan Agama melalui dunia pendidikan apapun termasuk pendidikan Pondok Pesantren selain hanya habis waktu untuk bermaksiat di terminal bis dan lokalisasi di wilayah Kecamatan Bawen, maka namapaknya Gus Sableng terpilih untuk mengemban amanah ilmu untuk dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat, pada tahap ini maka dapat dikatakan ilmu yang dimiliki oleh Gus Sableng merupakan ilmu kasyaf dalam terminologi ilmu tasawuf.

Gus Sableng lahir pada tahun 1972 sementara Waliullah Nyai Towilah meninggal pada tahun 1973 sehingga belum secara "permono menangi" atau secara jelas untuk dapat mengingat ingat atau bahkan mengetahui kisah hidup secara langsung nenek buyutnya  namun dirinya terpilih untuk dituntun menjalani pengembaraan ilmu dalam dimensi spiritual, karenanya beliau mampu secara detail dan fasih untuk meriwayatkan kisah hidup dan spiritualitas Simbah Waliullah Towilah dan untuk menjalankan amanah mengamalkan ilmunya maka pada saat ini Gus Sableng memakmurkan langgar di area makam sebagai pusat kegiatan Majelis Jogowilah yang diikuti oleh beberapa jamaah yang berasal dari berbagai wilayah.

Penyematan sebutan Waliullah pada Nyai Towilah adalah setelah beliau wafat yang bertolak dari berbagai serpihan cerita cerita para pelaku sejarah yang pernah secara langsung berguru pada beliau atau setidak tidaknya dari orang orang yang pernah sowan dan bertemu langsung kepada beliau dengan mengisyaratkan banyak kisah karomah yang dimiliki oleh Nyai Towilah semasa hidup.

Dalam terminologi keislaman maka kata
Wali berarti "wakil" atau "perwakilan" sehingga Waliullah berarti wakil dari keberadaan Allah Ta'alaa di bumi yang dibekali dengan beberapa karomah (keistimewaan) sebagai pembeda dari orang orang biasa, namun demikian keberadaan para wali Allah ini juga berbeda-beda sesuai tugasnya, namun bagi masyarakat awam ditanah Jawa biasanya hanya mengenal wali songo sebagai para wali yang menyebarkan ajaran Islam pada masa kerajaan Demak Bintoro, namun sebenarnya Waliullah itu akan tetap ada sampai akhir zaman dengan berbagai tingkatan yang sesuai dengan tugasnya masing masing.

Keberadaan Waliullah memiliki tugas sebagai "paku bumi" untuk menjaga keseimbangan hidup, sungguh tugas yang benar benar di luar akal manusia namun faktanya itu benar adanya dan Allah SWT juga telah memberikan kekuatan tersendiri pada Waliullah tersebut, namun siapa yang dapat mengetahui seseorang memiliki derajat Waliullah adalah Allah Ta'ala dan melalui kehendak - Nya pula dapat diketahui oleh sesama Waliullah, namun dari berbagai kisah diriwayatkan yaitu biasanya orang awam baru menyadari derajat kewalian seseorang  adalah saat orang tersebut sudah meninggal dunia.

Dalam khasanah Islam maka telah tercatat banyak kisah kisah Waliullah dari golongan perempuan sebut saja mulai yang paling populer, Robi’ah al Adawiyah, Mu’adzah al Adawiyah, Majidah al Qurosiyah, Sayyidah Aisyah binti Ja’far as Shodiq, Fatimah an Naisaburiyah, Robi’ah binti ismail, Ummu Harun, Umroh istrinya hubaib, Amatul Jalil, Ubaidah binti Abi Kilab, Chufairoh al Abidah, Sya’wanah, Aminah ar Romliyah, Manfusah binti Zaid bin Abil Fawariz, Sayyidah Nafisah putrinya al Hasan dan masih banyak lagi kisah sufiistik perempuan Islam yang terserak, demikian dari belahan bumi Nusantara dan pulau Jawa khususnya maka akan banyak pula kisah ulama perempuan yang shalih dan alim namun masih tercecer, tersembunyi dan belum terungkap kisah hidup dan Kewaliannya.

Dikisahkan Waliullah Towilah sewaktu masih hidup sering tanpa disadari menampilkan karomah karomah dan dalam memberi pelajaran kepada umat adalah dengan bentuk narasi kalimat yang berbentuk "sanepan" atau isyaroh yang harus dapat dikupas sendiri oleh umat dan biasanya isyaroh tersebut bisa berupa  sikap dan tindakan yang cukup aneh, unik, nyleneh dan kontroversi bila ditinjau dengan sudut pandang rasionalitas, akan tetapi semua akan mendapatkan inti sari hikmah setelah dapat  mengetahui dan memahaminya bahkan tak kurang apabila ada seseorang meminta doa atau saran atas suatu hajat yang dikehendaki maka beliau selalu memberikan amanah untuk bertindak sesuatu yang aneh aneh dan nganeh anehi namun jika yang bersangkutan dengan tulus ikhlas mampu melaksanakan maka biasanya tidak butuh waktu lama ternyata hajat yang dikehendaki akan tercapai.

Penyebutan Waliullah Towilah juga terpampang dalam papan reklame di salah satu pertigaan jalan raya Semarang - Solo yang melintas disepanjang perkebunan kopi Banaran antara pintu tol Bawen sampai jembatan Tuntang yang dari papan reklame tersebut menjadi penanda pintu masuk menuju arah makam Waliullah Towilah di Dusun Wonorejo, Desa Bawen, Kec. Bawen, Kabupaten Semarang.

Untuk menuju lokasi makam maka dalam perjalanan sejauh kurang lebih 2 KM dari jalan raya Semaranh - Solo maka akan tersuguhi oleh panorama alam yang memukau diantara pohon pohon kopi yang rimbun disepanjang jalan, hal demikian barangkali adalah sebuah intisari ilmu "sanepan" atau "isyaroh" yang dapat merangsang nalar kita untuk mengurai dan mengupas makna yang terkandung didalamnya.

Sanepan atau isyaroh dapat diawali dengan tematik lingkungan makam yang berupa kebun kopi, sehingga padanan kopi bisa jadi merupakan isyaroh yang menyimpan makna mendalam bagi kehidupan kita sehari hari.

Kopi adalah minuman populer bagi kita semua yang selanjutnya ada tahapan tahapan untuk meminum kopi yang selanjutnya disebut dengan "Ngopi" yang berarti ngolah pikiran, dan umumnya rasa kopi itu pait, namun demikian sepahit pahitnya kopi masih bisa dibuat manis atau "legi" yang berarti legowo ning ati /berlapang dada hatinya. Untuk dapat manis atau legi maka harus ditambahi gula atau "Gulo"  yang maknanya gulangane roso atau mengelola perasaan baik. Gula asalnya dari "Tebu" yang berarti anteb ning kalbu atau mantab hatinya.

Setelah kopi sudah dikasih gula dan terasa manis maka selanjutnya dituangkan dalam "Cangkir" yang berarti nyancangne pikir atau  menguatkan pikiran baru selanjutnya disiram air panas yang disebut dengan "Wedang" yang bermakna wejangan sing marahi pepadang atau nasehat yang mencerahkan dan  menentramkan hati, setelah itu jangan lupa diaduk aduk yang berasal dari kata "Udheg" yang berarti usahane ojo nganti mandeg atau usaha jangan sampai berhenti.

Untuk mengaduk aduk maka diperlukan "Sendok" yang berarti sendhekno marang sing nduwe kautaman atau  pasrahkan pada yang maha kuasa.

Sebelum seduhan kopi diminum maka harus ditunggu sampai lumayan dingin atau "Adem" yang berarti ati digowo lerem atau hati jadi tenang baru setelah itu minuman kopi baru diminum secara pelan pelan atau "Seruput" yang berarti sedoyo rubedo bakal luput atau  semua godaan akan terhindar.

Demikian "sanepan" atau "isyaroh" yang barangkali terkandung ketika Kyai Abdul Somad memilih kawasan perkebunan kopi sebagai tempat pemukiman demikian Waliullah Towilah memilih kawasan ini sebagai tempat dakwah, uzlah dan bertafakur diri dalam lautan dzikir  hingga akhir hayatnya.

........................................
Malam berjalan dengan pekat ketika semerbak aroma bunga kopi sesekali lindap bersama untaian bacaan tahlil, tasbih dan tahmid panjang nan khusyuk yang diurai oleh KH. Zaenuri Moh. Dalail ketua Tanfidzyah PCNU Kota Salatiga. Cungkup makam yang di hijabi dengan runtai kelambu putih yang menimbulkan aroma wangi sesekali terhirup bersama hembusan angin semakin menambah suasana sakral nan profan sehingga  masrum menusuk qolbu ketika doa disemai secara lembut nun agung oleh KH. Sumyani Aziz (Mustasyar PCNU Kota Salatiga) sungguh melesat pada titian waktu yang penuh tata warna.
........................................
"...dan kopi tak pernah memilih siapa yang layak menikmatinya. Karena di hadapan kopi, kita semua sama..."
........................................

Lahul Fatihah

Semoga bermanfaat

Wallahu a'lam bish-shawabi
Allah Mahatahu yang benar/yang sebenarnya.

* Disari dari berbagai sumber dan wawancara mendalam dengan Gus Sableng buyut kandung Walilullah Towilah.

*@ Penulis adalah anggota NU yang sehari hari tinggal di desa .

#Penulis memohon maaf apabila dalam penulisan ini terdapat kekhilafan yang akan menimbulkan polemik berfikir, namun demikian hal ini adalah iktiar untuk menyusun kisah kisah yang belum terungkap

Komentar